Saya punya seorang kenalan, Ethral namanya. Entah nama itu dicopot dari mana. Hingga kini, saya tak mengerti arti nama itu. Ia seorang yang sederhana. Sepintas lalu, terlihat tak ada yang istimewa dari dia. Bahkan banyak orang justru menganggapnya sebagai laki-laki lugu yang terlalu jujur, polos dan apa adanya. Pada berbagai kesempatan bersama, misalnya dalam sebuah kelompok kecil, Ethral ini selalu menjadi sumber cerita. Karena keluguannya dia selalu jadi bahan tertawaan banyak orang. Sering juga apa yang dia ceritakan ditimpali orang sekenanya, sambil bercanda, tapi Ethral akan membalasnya dengan serius. Sudah pasti, karena keluguannya.
Ada pula seorang teman lain bernama Endy. Ia orang penting. Memang tak banyak yang mengenalnya karena namanya tak mengglobal di kalangan yang luas. Tidak sampai sembilan puluh sembilan persen warga kota Kupang mengenalnya. Sebab ia cuma seorang pekerja gereja (koster). Ia penting hanya di kalangan gereja itu. Hampir semua hal diurusnya. Mulai dari kebersihan gereja, administrasi gereja, pemain musik pengiring kebaktian, dan seterusnya. Rasa-rasanya kalau tak ada Endy, banyak kegiatan gereja akan pincang.
Kalau Anda diminta memilih dari dua nama itu, manakah yang Anda pilih. Apakah Anda memilih untuk menjadi Ethral ataukah Endy? Sekarang saya akan coba untuk memilih menjadi Ethral. Pastilah saya cukup senang, karena menjadi orang biasa-biasa saja. Tak banyak yang perlu saya pikirkan, tentu karena saya seorang yang lugu. Tak peduli harus jadi bahan tertawaan orang, tokh saya lugu kan?
Kalau saya menjadi Endy, saya akan sangat berbahagia. Menjadi seorang pekerja gereja pastilah menyenangkan. Iman saya bertumbuh, semua yang saya tahu akan saya tuangkan untuk kepentingan pelayanan dan kemuliaan nama Tuhan.
Bagaimana dengan pilihan Anda? Kalau Anda sudah punya jawabannya, sekarang, saya akan mulai ‘jujur’. Sebenarnya Ethral dan Endy adalah satu orang. Dan memang begitulah orangnya. Tidak semua hal menyenangkan dari tokoh kita ini. Tapi tidak semua hal dari dirinya jelek.
Kegigihan laki-laki jomblo setengah baya ini luar biasa. Pertama kali mengenalnya sekitar tahun 1994, dia seorang anak SMKK yang menghidupi dirinya dari berjualan sayur atau ikan segar keliling kota. Percaya atau tidak, mungkin dia satu-satunya koster yang punya titel Sarjana.
Keberhasilannya dalam pendidikan membuatnya kini dipercaya sebagai kepala tata usaha di gerejanya. Satu hal yang tidak saya lupa dari teman saya ini adalah saya belajar mengenal orang lain dengan caranya. “Seburuk apapun sifat seseorang, selalu ada yang baik dari dia”, begitu katanya.
(diambil dari kumpulan tulisan enythaipen ~ 2009)
Kisah yang menarik abang, pesannya dapat.
BalasHapusSebaik apapun selalu ada yang buruk :)
ucapkan selamat untuk semua koster gereja. kalian sangat berarti di mata Tuhan......
BalasHapusKoster saja sarjana; jadi benar kata orang bijak 'Dont judge a book by its cover' (jangan menghakimi buku dengan koper)..
BalasHapushahahaha *ngawur mode*
Lecon :
BalasHapussudut tembak yang menarik... bawaan tukang jepret ya? :)
Wesly :
Mereka memang berarti. Sayangnya di beberapa gereja pernah saya temui, koster seolah jadi "PRT"para pendeta.
Dave : Beta suka itu
Semua pekerjaan (termasuk koster) punya nilai lebih dari sekedar yang dipikirkan banyak orang..
BalasHapusApalagi kalau dikerjakan seperti untuk Tuhan..
dlm satu kesempatan blogwalking, beta pernah baca artikel menarik bahwa semua kerja itu punya makna lebih:
http://blog.diansastrowardoyo.net/2009/02/14/tulisan-di-kompas-14-feb-2009-melihat-lebih-jauh/