maloi

Rabu, 12 Oktober 2011

Vox Populi Vox Dei

SUARA RAKYAT ADALAH SUARA ALLAH? (2003)
Suatu hermeneutik historis-teologis)


Ayub Ranoh

“Megawati menantang Suara Tuhan” (Pos Kupang 14/1/2003). Ini tanggapan Kolonel (Purn) Djuanda atas sambutan Megawati pada perayaan HUT PDIP di Bali. Megawati menyatakan dia lebih memilih kebijakan tidak populis tetapi konstruktif, ketimbang kebijakan populis tetapi menjerumuskan bangsa. Sikap Megawati ini dinilai sebagai penolakan atas suara rakyat; dan dikaitkan dengan frase Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat, Suara Allah), berarti Megawati menantang suara Tuhan. Pendapat ini kedengarannya aneh, dan merangsang orang untuk bertanya, apakah benar suara rakyat otomatis adalah suara Allah, lepas dari apakah suara itu murni atau hasil hasutan? Sehubungan dengan pertanyaan ini rasanya perlu kita pahami asal-usul serta konteks historis ungkapan ini dan memaknainya secara teologis-politis.

Konteks historis
Konon ungkapan ini berasal dari teolog dan pendidik Kristen abad pertengahan asal Inggeris bernama Alcuin (735-804). Dia diminta raja Charles Agung (742-814) untuk menjadi teolog dan pendidik istana. Dalam sebuah suratnya kepada raja Charles Agung Alcuin pernah memakai frase yang kemudian menjadi sangat terkenal dan sering dikutip di Indonesia sampai sekarang: Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Allah).
Penggunaan ungkapan ini untuk raja Charles memang menarik perhatian. Sejarah mencatat Charles Agung adalah raja besar dan berpengaruh di Eropah pada abad pertengahan. Dia menaklukkan dan mengkristenkan bangsa-bangsa Saxon dan melindungi negeri-negeri yang dikuasai Paus. Karena itu dia amat dihormati Paus Leo III.
Dengan menaklukan begitu banyak negeri, Charles Agung sebenarnya sudah membentuk sebuah kekaiseran tersendiri dan menjadi Kaisar, walaupun belum dinobatkan. Tetapi pada Natal tahun 800, tiba saatnya, ketika Raja Charles sedang berlutut di Gereja Santo Petrus, Roma, Paus Leo III memakaikan mahkota di kepala Charles, dan seluruh umat yang hadir menyambutnya sebagai “Yang Agung.” Dia lalu menjadi seorang Kaesar Kristen yang memerintah kekaiseran Roma yang suci (“Sacrum Romanum Imperium”). Di bawah kepemimpinannya Gereja dan Kekaiseran menjadi satu kesatuan.
Banyak penilaian dibuat terhadap Raja Charles. Di satu sisi secara politis, Charles adalah seorang raja perkasa, pahlawan Germanik, seorang penakluk, yang selama masa dewasanya tak pernah berhenti bertempur. Di kalangan bangsa Sakson, dia menerapkan “baptisan dengan pedang” yaitu pengkristenan dengan jalan penaklukkan.
Di sisi lain, secara kultural dia Kaisar Kristen yang mengabdi pada agama Kristen, membiasakan diri belajar agama dan teologi di Istana, menyebarkan buku, mengembangkan pendidikan, dan menegakkan hukum. Hidupnya menjadi model yang menggabungkan budaya Germanik, Romawi, dan Kristen yang kemudian menjadi basis peradaban Eropah. Seorang sastrawan istana memberi dia gelar: “Rex Pater Europae” (Raja, Bapak Eropah), sebuah nama yang memang tepat mengingat pengaruhnya untuk Eropah dalam abad pertengahan.

Bukan raja ilahi
Di bawah raja sebesar Charles Agung, peluang bagi pengilahian status raja memang terbuka. Hubungan sangat dekat dengan gereja, membuka jalan bagi para teolog untuk memberi pembenaran religius-teologis bagi kekuasaan Charles. Hal seperti ini pernah terjadi beberapa abad sebelumnya. Eusebius misalnya memberi pembenaran religius-Kristen bagi kedudukan Konstantin, Kaesar Roma pertama yang menjadi Kristen. Roma dianggap sebagai bagian tatanan ilahi bagi kebaikan dunia, dan Konstantin adalah penjaminnya. Walau ada juga sikap teologis-kritis terhadap Konstantin masa itu, tetapi tak kedengaran karena pengaruh pandangan teologi istana yang sangat dominan.
Tetapi Alcuin, walau menjadi teolog istana, bersikap lain. Dia bisa saja mengagungkan Charles dengan berbagai argumen teologis-Kristen. Apa lagi iklim relasi gereja dan kekaiseran saat itu amat kondusif. Namun, ketimbang mengatakan suara raja, adalah suara Allah, justru dia katakan sebaliknya, suara rakyat adalah suara Allah. Dengan pernyataan ini Alcuin menolak ideologi raja-ilahi.

Teologi politik rakyat
Kecenderungan mengabaikan rakyat, atau memanipulasi suara rakyat merupakan godaan dalam berbagai sistem pemerintahan otoritarian dan monarkial. Tetapi Alcuin menghargai suara rakyat begitu tinggi sampai-sampai mengaitkan suara rakyat dengan suara Allah. Dengan pengaitan ini maka rakyat dan suara rakyat yang biasanya menjadi kategori politis, menjadi kategori teologis-etis juga. Bagaimana menjelaskannya secara teologis?
Salah satu metafora Alkitabiah tentang Allah justru bersifat politis, yaitu Allah raja atau pemerintah. Allah seperti ini mengangkat para raja politis untuk memerintah rakyat. Dalam kepercayaan kepada Allah sebagai raja maka pemerintah duniawi bagaimanapun agungnya, tidak berkuasa mutlak dan tidak bersifat ilahi. Yang ilahi dan berdaulat mutlak hanya Allah; kedaulatan lain bersifat relatif dan terbatas, entah itu kedaulatan raja dalam sistem monarki, maupun kedaulatan rakyat dalam sistem-sistem demokratis.
Dalam setiap pengangkatan raja di Israel, selalu terjadi bahwa setelah penobatan oleh para pemimpin agama (simbol perkenanan Allah), raja langsung dihadapkan pada rakyat. Daud misalnya setelah diurapi Samuel, menjalani masa pengembaraan panjang untuk pada akirnya mendapat pengakuan publik/rakyat (2 Samuel 2 dan 5). Atau Salomo, pelantikannya sebagai raja oleh imam berlangsung di tengah rakyat (baca 1Raja1:28-53).
Kisah-kisah ini memperlihatkan bahwa perkenanan Allah dan dukungan rakyat adalah dua hal saling terkait dan amat diperlukan bagi absahnya kekuasaan seorang raja. Raja demikian sekaligus adalah abdi Allah demi rakyat atau abdi rakyat yang diperkenan Allah. Karena itu tuntutan moral terhadap seorang raja adalah bagaimana dia menyelenggarakan kekuasaannya dengan taat pada Allah dan melayani rakyat, khususnya kaum kecil yang sering menjadi korban dalam masyarakat. Dan dalam tradisi Israel para nabi merupakan juru bicara Allah untuk menyampaikan kehendak Allah dan aspirasi rakyat kepada raja.
Bagaimana dengan suara rakyat? Dalam tradisi Eksodus ada kisah menarik tentang suara rakyat dalam kaitan dengan Allah. Ketika Israel ditindas di Mesir mereka mengeluh karena penindasan itu. Mereka berseru-seru sehingga teriak mereka minta tolong sampai ke telinga Allah. Allah mendengar suara nereka, melihat dan memperhatikan penderitaan mereka (Keluaran 2:23-24). Corak bahasa anthropomorphis ini (bahasa yang menggambarkan Allah dengan berbagai daya indrawi manusia) memperlihatkan bahwa Allah juga bisa tergugah, bersimpati dan berempati pada rakyat yang tertindas.
Di kisah ini suara rakyat memang tetap suara rakyat; tetapi dalam hubungan dengan Allah, suara rakyat itu didengar Allah, dan disuarakan kembali lewat Musa kepada penguasa Mesir dalam bentuk perintah pembebasan bagi rakyat yang tertindas. (Keluaran 3:1-10). Dengan ini kita melihat perubahan status suara rakyat; apa yang Allah suarakan kepada Musa untuk diteruskan kepada penguasa adalah sebenarnya suara yang sebelumnya didengar Allah dari rakyat sendiri. Pharao tidak mendengar langsung dari rakyat, tetapi lewat Musa, sang utusan Allah. Musa juga tidak mendengar dari rakyat, tetapi mendengar suara rakyat itu dari Allah. Maka tepat juga secara teologis untuk membalikkan ungkapan Alcuin tanpa merubah maknanya menjadi: Vox Dei Vox Populi (suara Allah sebenarnya suara penderitaan rakyat). Wawasan seperti ini amat relevan dalam konteks penindasan di mana rakyat benar-benar tak berdaya (powerless) dan tak bersuara (voiceless) seperti dalam penindasan Mesir atau regim lainnya di dunia ini yang kejam terhadap rakyat.

Perspektif teologis tentang rakyat dan suara rakyat ini cukup menonjol dalam Teologi Asia belakangan ini. Di Korea Selatan para teolog mengembangkan konsep “minjung” (rakyat) sebagai satu kategori teologis. Di mata para teolog ini, rakyat Asia seringkali menjadi obyek penindasan, dan diabaikan dalam berbagai proses sosial-politik. Tetapi Allah dalam Kristus memihak rakyat, melayani mereka, dan kepada mereka diberitakan Injil Kerajaan Allah yaitu berita pembebasan. Dengan demikian Rakyat yang tak berdaya diberdayakan, dan yang dibisukan dimampukan untuk bersuara.
Dalam hubungan dengan ini, kita bisa mengembangkan Teologi dan Etika Politik dengan rakyat sebagai kategori utama. Seorang teolog Asia menulis tentang hal ini: “All Christian political theology, should be no more and no less than “folk” political theology – political theology of the people.” (C.Song, 1982). Artinya: Semua teologi politik Kristen seharusnya menjadi teologi politik rakyat dan teologi politik tentang rakyat.

Ambiguitas
Tetapi apakah selalu suara rakyat adalah suara Allah? Dalam konteks di mana ada upaya manipulasi untuk memanfaatkan suara rakyat demi kepentngan tertentu, masih tepatkah secara etis-teologis kita membenarkan pernyataan vox populi vox dei? Rupanya di sini kita berhadapan dengan sebuah ambiguitas moral dan menuntut kearifan untuk menilai dalam situasi apa uangkapan ini benar-benar dipakai secara murni tanpa kepentingan, dan kapan dia dipakai hanya sekadar bahasa ideologis untuk menutupi kepentingan terselubung.
Sebuah kisa Kitab Suci kembali menjadi contoh kita. Dalam kisah pengadilan Yesus, menurut Markus (fs.15) rakyat atau orang banyak, massa (Yunani: okhlos) yang sebelumnya menjadi pengagum fanatik Yesus, ternyata berbalik haluan. Ketika ditanyai Pilatus apa yang harus diperbuat terhadap Yesus, dengan nada koor yang keras mereka berteriak: “salibkanlah dia! Salibkanlah dia!” (Markus 15:13,14).
Mengapa massa (ochlos) berubah sikap? Kecewa karena Yesus tidak memenuhi harapan? Kemungkinan itu tetap terbuka. Tetapi menurut Markus mereka balik haluan karena “imam-imam kepala menghasut orang banyak” ( ay. 11). Ternyata rakyat yang seharusnya menjadi subyek dan kategori teologis dalam berbagai teologi dan etika Politik bisa juga bisa menjadi obyek manipulasi dan hasutan berbagai pihak pencari dukungan.
Kemungkinan bahwa rakyat dan massa dihasut itu selalu ada dalam setiap situasi sosial-politik di manapun, tidak kecuali di Indonesia. Dalam situasi seperti itu, maka perlu kita tegaskan bahwa suara rakyat, suara massa adalah suara para penghasut dan bukan suara Allah. Karena itu kita perlu menaruh kesangsian ideologis terhadap berbagai pihak yang memakai frase vox populi vox dei. Untuk kepentingan politis macam apa mereka memakai frase ini. Kearifan dan sikap kritis kita perlu kita kembangkan untuk menilai niat-niat terselubung di balik penggunaan frase vox populi vox dei.

Penutup
Di NTT sedang berlangsung musim suksesi politik. Banyak gerilyawan politik berkeliaran mencari dukungan rakyat entah dengan cara baik atau buruk. Berbagai organisasi atau forum dadakan bermunculan sekadar kumpul fotokopi KTP dan tandatangan warga masyarakat dengan imbalan uang. Jelas suara dan dukungan rakyat yang diperoleh dengan cara begini bukan suara Allah. Hal yang sama berlaku bagi para anggota DPRD. Kalau suara rakyat yang mereka wakili nanti mereka jual pada seorang pencari jabatan kepala daerah, mereka kita kategorikan sebagai penipu rakyat dan Allah. Lalu kepala daerah sendiri, yang berhasil terpilih karena beli suara wakil rakyat, jelas bukan kepala daerah yang diperkenan Allah. Dia lebih tepat disebut sebagai manipulator.

* Pendeta Emeritus, mantan Ketua MS GMIT

Minggu, 05 Juni 2011

Kesampingkan masalahmu dan . . .

SELALU harus ada yang dikesampingkan....
Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan suasana hati saya saat ini. Pikiran, perasaan, keinginan dan lain sebagainya sedang berkecamuk di dalam diri. Akhirnya, baru saja saya putuskan untuk memilah-milah persoalan dan beban yang perlu segera saya pikirkan atau selesaikan. Paling kurang biar ada pengurangan masalah.

Beberapa masalah dapat saya abaikan untuk malam ini. Rencananya akan saya tanggulangi besok, lusa, tula atau entah kapan. Setelah dipilah-pilah, ternyata cuma ada satu yang mengganjal untuk malam ini. Yakni masa lalu. Ada begitu banyak kebahagiaan, tapi tak sedikit kesedihan. Sudah pasti yang membahagiakan jadi kenangan. Susahnya untuk yang menyedihkan, karena karena menyakitkan, apalagi kalau terus diingat.

Tahapan memilah saya ulangi di sub masalah 'yang menyedihkan'. Saya pilah dalam kategori penting atau tak penting, membangun atau malah menjatuhkan, menguatkan atau melemahkan. Jawaban yang saya dapat adalah hampir sama, antara kriteria positif dan negatifnya. Hahaha, sudah pasti itu karena berhubungan dengan perasaan.

Akhirnya tibalah saya pada satu kesimpulan. Selalu harus ada yang dikesampingkan.Koq bisa? Truss? Ya bisa saja. Tokh sejak awal saya sedang memilah,dan setelah dipilah sana-sini, saya dapatkan prioritas masalah. Namun tahapan kesimpulan mengharuskan saya kesampingkan yang soal masa lalu ini.

Sampai di sini harusnya saya menaikan posisi urutan masalah kedua dari hasil memilah tadi. Namun setelah dipikir-pikir, masalah yang ada di urutan keduapun perlu saya kesampingkan. Sebab tak mungkin saya selesaikan malam ini.

Maka tak ayal, semua urutan masalah yang ada jadinya harus saya kesampingkan malam ini. Sebab yang saya butuhkan sekarang adalah saat yang teduh. Paling kurang untuk mengucap syukur pada TUHAN atas segala kebaikanNya dan untuk menyiapkan diri menjalani jadwal rutin tiap tanggal satu. Apa itu? Ah rasanya tak perlu saya jelaskan di sini. Yang pasti bukan soal gajian, atau perpuluhan, ini masalah pribadi (lainnya) dengan TUHAN.

Selain saat teduh, saya ingin menulis catatan ini. Dan di akhir tulisan ini saya diyakinkan bahwa saya butuh istirahat. Kesampingkan masalahmu dan beristirahatlah.. Bukan karena tak mau memikirkannya atau lari dari masalah, tapi biarlah kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. Uppsss, jangan ketawa dulu, sebab ini bukan kata-kata penghiburan untuk masalah saya. Sebab memang saya butuh istirahat..
Bagaimana dengan Anda.?

Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri.Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." ~ Matius 6:34



01 November 2010

Sabtu, 04 Juni 2011

Ah berlebihan

Larry King dalam bukunya "How to talk to anyone, anytime, anywhere" mengatakan : dalam seni berbicara tak seorangpun yang tak dapat diajak bicara, bila kita memiliki sikap yang tepat. Sikap itu harusnya mengarah pada bagaimana kita bisa menyampaikan pesan dengan cara yang efektif.

Larry King seorang pembawa acara program talk show yang mempunyai rating tinggi di CNN. Di buku ini dia membeberkan rahasia tentang bagaimana menguasai seni berbicara yang tepat sehingga tidak hanya disukai orang tetapi juga menguntungkan bagi kita yang telah menguasai seni berbicara.

Beberapa hari ini, otak saya dipusingkan dengan berpikir bagaimana cara mengkomunikasikan sebuah pesan secara efektif itu. Ambil saja contoh yang tengah saya pikirkan ketika memulai 'note' ini, bagaimana seharusnya saya mengatakan pada seorang teman bahwa dia salah. Masing-masing orang dengan caranya sendiri-sendiri dan kalau sudah begitu, menurut hemat saya, Larry King pun tak bisa mengatakan itu salah. Tetapi kemudian saya juga yakin bahwa ketika apa yang kita komunikasikan tidak direspon secara baik oleh penerima pesan kita, saya yakin Larry benar, bahwa kita gagal dalam berkomunikasi. Ketika ternyata saya temui kenyataan bahwa saya gagal dalam berkomunikasi dengan adik-adik saya di rumah, saya bertanya-tanya, apa ada yang salah? Ternyata benar, setelah dianalisa, kebetulan karena saya yang paling tua di rumah, saya cenderung berkomunikasi secara 'kasar', mungkin karena saya mengganggap mereka tidak lebih tahu dari saya. Saya cenderung menyampaikan pesan dengan ancaman. Sekarang baru saya sadar, cara itu memang tidak efektif. Mungkin itulah sebabnya lawan bicara saya tidak paham apa yang saya sampaikan, bahkan cenderung "ogah-ogahan" terhadap pesan saya. Seperti catatan Larry King dalam bukunya itu, kini saya sudah coba memandang suatu hal dari sudut pandang yang baru, mengambil titik pandang lain, termasuk tidak menyampaikannya secara kasar.

Jadi memang benar, pada dasarnya tak seorangpun yang tak dapat diajak bicara, bila kita memiliki sikap yang tepat. Salah satu sikap saya yang kurang tepat adalah menganggap saya yang paling tahu, dan mereka tidak. Bahkan saya cenderung menganggap lebih tahu tentang mereka. Terkadang memang saya berlebihan....

Kamis, 02 Juni 2011

Cerita tiga senior

Kemarin ada tiga hal menarik yang saya alami. Ketiganya berhubungan dengan tiga senior.

Senior pertama, teman sekampus yang sekarang bertugas di salah satu koran di ibukota. Walaupun bagi-bagi cerita antara kami terjadi via telpon, saya tetap merasakan sesuatu yang menyenangkan, paling kurang ada rindu yang terobati. Dari dia saya pernah belajar banyak hal. Topik yang kami bahas seputar kerjaan kami di bidang media. Sebenarnya ‘tingkatan’ menariknya cerita antara kami kemarin sore itu cuma saya yang bisa rasa. Mungkin karena ikatan personal antar kami sebagai senior - yunior di kampus sekaligus karena dia mantan pemred di majalah tempat kami pernah sama-sama bekerja.

Dalam waktu yang hampir bersamaan datang kabar dari senior kedua. Yang ini via FB. Sama-sama pekerja media. Dia broadcaster senior dari Surabaya yang belum lama ini jadi konsultan pada salah satu radio di Kupang, yang kebetulan saja, di radio itu kami sempat kenalan dan banyak tukar pikiran soal dunia penyiaran. Sekali lagi di sinipun ada kerinduan yang terobati. Walaupun tidak begitu lama dia dikontrak bekerja di Kupang, tapi banyak hal menarik dia bagikan pada saya.



Sekarang gilirannya senior ketiga. Yang ini, benar-benar senior. Umurnya kira-kira 55 tahun. Bedanya dengan dua senior tadi, yang ini sekarang jadi teman kerja. Lebih tepatnya dia bos saya. Pemilik salah satu radio di Kupang. Saya sudah mengenalnya sejak tahun 2006 lalu.

Cerita dengan senior yang ketiga ini terjadi di studio siaran. Dimulai dengan tuturannya tentang pengalaman masa mudanya saat dia merintis karir di dunia usaha dari nol. Dari cerita panjang sekitar satu jam, saya sempat menangkap matanya yang berkaca-kaca, waktu dia mereview masa dimana dia sadar bahwa dia tidak mampu karena berbagai kekurangan yang dimilikinya - maaf - termasuk cacat fisiknya. Tapi dia mengakhiri ceritanya dengan pesan bagus untuk saya, “Theny, ini semua cuma karena doa. Sejak dari nol Tuhan mungkinkan saya belajar hal-hal kecil dari orang lain, hingga sekarang saya bisa melakukannya sendiri.”


Salam hormat untuk Bung AM, ES dan ML. Terima kasih karena memberi kesempatan bagi saya belajar hal-hal kecil.


Souverdy 4 Obf, 01 03 2011

Rabu, 01 Juni 2011

ethral dan endy

Saya punya seorang kenalan, Ethral namanya. Entah nama itu dicopot dari mana. Hingga kini, saya tak mengerti arti nama itu. Ia seorang yang sederhana. Sepintas lalu, terlihat tak ada yang istimewa dari dia. Bahkan banyak orang justru menganggapnya sebagai laki-laki lugu yang terlalu jujur, polos dan apa adanya. Pada berbagai kesempatan bersama, misalnya dalam sebuah kelompok kecil, Ethral ini selalu menjadi sumber cerita. Karena keluguannya dia selalu jadi bahan tertawaan banyak orang. Sering juga apa yang dia ceritakan ditimpali orang sekenanya, sambil bercanda, tapi Ethral akan membalasnya dengan serius. Sudah pasti, karena keluguannya.

Ada pula seorang teman lain bernama Endy. Ia orang penting. Memang tak banyak yang mengenalnya karena namanya tak mengglobal di kalangan yang luas. Tidak sampai sembilan puluh sembilan persen warga kota Kupang mengenalnya. Sebab ia cuma seorang pekerja gereja (koster). Ia penting hanya di kalangan gereja itu. Hampir semua hal diurusnya. Mulai dari kebersihan gereja, administrasi gereja, pemain musik pengiring kebaktian, dan seterusnya. Rasa-rasanya kalau tak ada Endy, banyak kegiatan gereja akan pincang.

Kalau Anda diminta memilih dari dua nama itu, manakah yang Anda pilih. Apakah Anda memilih untuk menjadi Ethral ataukah Endy? Sekarang saya akan coba untuk memilih menjadi Ethral. Pastilah saya cukup senang, karena menjadi orang biasa-biasa saja. Tak banyak yang perlu saya pikirkan, tentu karena saya seorang yang lugu. Tak peduli harus jadi bahan tertawaan orang, tokh saya lugu kan?

Kalau saya menjadi Endy, saya akan sangat berbahagia. Menjadi seorang pekerja gereja pastilah menyenangkan. Iman saya bertumbuh, semua yang saya tahu akan saya tuangkan untuk kepentingan pelayanan dan kemuliaan nama Tuhan.

Bagaimana dengan pilihan Anda? Kalau Anda sudah punya jawabannya, sekarang, saya akan mulai ‘jujur’. Sebenarnya Ethral dan Endy adalah satu orang. Dan memang begitulah orangnya. Tidak semua hal menyenangkan dari tokoh kita ini. Tapi tidak semua hal dari dirinya jelek.

Kegigihan laki-laki jomblo setengah baya ini luar biasa. Pertama kali mengenalnya sekitar tahun 1994, dia seorang anak SMKK yang menghidupi dirinya dari berjualan sayur atau ikan segar keliling kota. Percaya atau tidak, mungkin dia satu-satunya koster yang punya titel Sarjana.

Keberhasilannya dalam pendidikan membuatnya kini dipercaya sebagai kepala tata usaha di gerejanya. Satu hal yang tidak saya lupa dari teman saya ini adalah saya belajar mengenal orang lain dengan caranya. “Seburuk apapun sifat seseorang, selalu ada yang baik dari dia”, begitu katanya.

(diambil dari kumpulan tulisan enythaipen ~ 2009) 

Rabu, 18 Mei 2011

Labuan Bajo

Belum lama ini saya dapat kesempatan jalan-jalan ke Labuan Bajo, Manggarai Barat. Ada banyak tulisan di mesin pencari yang bisa menjelaskan pada Anda tentang kota ini. Secara ringkas kota ini adalah pintu bagi Anda untuk bisa menikmati kawasan indah dengan wisata laut yang mengundang decak kagum dan melihat salah satu calon keajaiban dunia KOMODO.



























Suka radio...

Radio jadi salah satu hobby. Mulai bergabung di radio karena kebetulan. Dimulai dengan Radio Suara Timor. Beberapa pegawai RRI ikut mengelola Suara Timor dari awal termasuk papa. Namun setelah RRI Kupang melarang pegawainya membantu di sana, Suara Timor kehilangan penulis untuk obrolan Warung Pinang. yang khas dengan bahasa Kupang. Jadilah saya bergabung di sana, menggantikan papa sebagai penulis naskah sekaligus presenter obrolan Warung Pinang. Di program ini saya berpasangan dengan Ina Djara, penyiar TVRI Kupang. Waktu itu, saya sementara bekerja di Harian Umum Radar Timor yang kebetulan sekali satu owner dengan Suara Timor. Setelah keluar dari Radar Timor, sayapun berhenti dari Suara Timor.

Tahun 2006 bergabung di Radio Suara Kupang, sebagai staf produksi dan penyiar. Di sini cuma beberapa bulan karena adanya masalah internal perusahaan hingga perusahaan itu tutup sementara waktu. Desember 2006 Radio Kaisarea Voice yang awalnya menggunakan 88.5 Mhz mengganti peralatan baru (97.6 Mhz), saat test audio sempat ikut bantu siaran semalam. Ternyata penanggungjawab siaran di sini adalah Ina Djara, saya diminta bergabung untuk pelayanan di sana. Hingga Oktober 2010 keinginan untuk bisa belajar lebih dalam tentang radio menuntut saya kembali bergabung dengan Suara Kupang. Hasil pendekatan dengan owner SKFM menunjukkan tanda positif dan Februari 2011 mulai bergabung.

Di radio ini saya belajar banyak hal baru tentang dunia radio. Apalagi di sana rata-rata adalah orang radio yang punya banyak pengalaman. Yang paling susah adalah menyesuaikan style. Masalahnya adalah saya terlanjur terbiasa dengan gaya di KV yang santai dan cenderung mengarah ke radio Komunitas Kristen. Tak heran layaknya penyiar baru, saya terus mendapat teguran dari Owner atau dari Sonny Tanesib, manajer siaran di Suara Kupang.

Kebetulan sekali saya suka belajar banyak hal. Jadi semua teguran bukan jadi masalah, malah memacu saya untuk maju. Terus belajar...