SUARA RAKYAT ADALAH SUARA ALLAH? (2003)
Suatu hermeneutik historis-teologis)
Ayub Ranoh
“Megawati menantang Suara Tuhan” (Pos Kupang 14/1/2003). Ini tanggapan Kolonel (Purn) Djuanda atas sambutan Megawati pada perayaan HUT PDIP di Bali. Megawati menyatakan dia lebih memilih kebijakan tidak populis tetapi konstruktif, ketimbang kebijakan populis tetapi menjerumuskan bangsa. Sikap Megawati ini dinilai sebagai penolakan atas suara rakyat; dan dikaitkan dengan frase Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat, Suara Allah), berarti Megawati menantang suara Tuhan. Pendapat ini kedengarannya aneh, dan merangsang orang untuk bertanya, apakah benar suara rakyat otomatis adalah suara Allah, lepas dari apakah suara itu murni atau hasil hasutan? Sehubungan dengan pertanyaan ini rasanya perlu kita pahami asal-usul serta konteks historis ungkapan ini dan memaknainya secara teologis-politis.
Konteks historis
Konon ungkapan ini berasal dari teolog dan pendidik Kristen abad pertengahan asal Inggeris bernama Alcuin (735-804). Dia diminta raja Charles Agung (742-814) untuk menjadi teolog dan pendidik istana. Dalam sebuah suratnya kepada raja Charles Agung Alcuin pernah memakai frase yang kemudian menjadi sangat terkenal dan sering dikutip di Indonesia sampai sekarang: Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Allah).
Penggunaan ungkapan ini untuk raja Charles memang menarik perhatian. Sejarah mencatat Charles Agung adalah raja besar dan berpengaruh di Eropah pada abad pertengahan. Dia menaklukkan dan mengkristenkan bangsa-bangsa Saxon dan melindungi negeri-negeri yang dikuasai Paus. Karena itu dia amat dihormati Paus Leo III.
Dengan menaklukan begitu banyak negeri, Charles Agung sebenarnya sudah membentuk sebuah kekaiseran tersendiri dan menjadi Kaisar, walaupun belum dinobatkan. Tetapi pada Natal tahun 800, tiba saatnya, ketika Raja Charles sedang berlutut di Gereja Santo Petrus, Roma, Paus Leo III memakaikan mahkota di kepala Charles, dan seluruh umat yang hadir menyambutnya sebagai “Yang Agung.” Dia lalu menjadi seorang Kaesar Kristen yang memerintah kekaiseran Roma yang suci (“Sacrum Romanum Imperium”). Di bawah kepemimpinannya Gereja dan Kekaiseran menjadi satu kesatuan.
Banyak penilaian dibuat terhadap Raja Charles. Di satu sisi secara politis, Charles adalah seorang raja perkasa, pahlawan Germanik, seorang penakluk, yang selama masa dewasanya tak pernah berhenti bertempur. Di kalangan bangsa Sakson, dia menerapkan “baptisan dengan pedang” yaitu pengkristenan dengan jalan penaklukkan.
Di sisi lain, secara kultural dia Kaisar Kristen yang mengabdi pada agama Kristen, membiasakan diri belajar agama dan teologi di Istana, menyebarkan buku, mengembangkan pendidikan, dan menegakkan hukum. Hidupnya menjadi model yang menggabungkan budaya Germanik, Romawi, dan Kristen yang kemudian menjadi basis peradaban Eropah. Seorang sastrawan istana memberi dia gelar: “Rex Pater Europae” (Raja, Bapak Eropah), sebuah nama yang memang tepat mengingat pengaruhnya untuk Eropah dalam abad pertengahan.
Bukan raja ilahi
Di bawah raja sebesar Charles Agung, peluang bagi pengilahian status raja memang terbuka. Hubungan sangat dekat dengan gereja, membuka jalan bagi para teolog untuk memberi pembenaran religius-teologis bagi kekuasaan Charles. Hal seperti ini pernah terjadi beberapa abad sebelumnya. Eusebius misalnya memberi pembenaran religius-Kristen bagi kedudukan Konstantin, Kaesar Roma pertama yang menjadi Kristen. Roma dianggap sebagai bagian tatanan ilahi bagi kebaikan dunia, dan Konstantin adalah penjaminnya. Walau ada juga sikap teologis-kritis terhadap Konstantin masa itu, tetapi tak kedengaran karena pengaruh pandangan teologi istana yang sangat dominan.
Tetapi Alcuin, walau menjadi teolog istana, bersikap lain. Dia bisa saja mengagungkan Charles dengan berbagai argumen teologis-Kristen. Apa lagi iklim relasi gereja dan kekaiseran saat itu amat kondusif. Namun, ketimbang mengatakan suara raja, adalah suara Allah, justru dia katakan sebaliknya, suara rakyat adalah suara Allah. Dengan pernyataan ini Alcuin menolak ideologi raja-ilahi.
Teologi politik rakyat
Kecenderungan mengabaikan rakyat, atau memanipulasi suara rakyat merupakan godaan dalam berbagai sistem pemerintahan otoritarian dan monarkial. Tetapi Alcuin menghargai suara rakyat begitu tinggi sampai-sampai mengaitkan suara rakyat dengan suara Allah. Dengan pengaitan ini maka rakyat dan suara rakyat yang biasanya menjadi kategori politis, menjadi kategori teologis-etis juga. Bagaimana menjelaskannya secara teologis?
Salah satu metafora Alkitabiah tentang Allah justru bersifat politis, yaitu Allah raja atau pemerintah. Allah seperti ini mengangkat para raja politis untuk memerintah rakyat. Dalam kepercayaan kepada Allah sebagai raja maka pemerintah duniawi bagaimanapun agungnya, tidak berkuasa mutlak dan tidak bersifat ilahi. Yang ilahi dan berdaulat mutlak hanya Allah; kedaulatan lain bersifat relatif dan terbatas, entah itu kedaulatan raja dalam sistem monarki, maupun kedaulatan rakyat dalam sistem-sistem demokratis.
Dalam setiap pengangkatan raja di Israel, selalu terjadi bahwa setelah penobatan oleh para pemimpin agama (simbol perkenanan Allah), raja langsung dihadapkan pada rakyat. Daud misalnya setelah diurapi Samuel, menjalani masa pengembaraan panjang untuk pada akirnya mendapat pengakuan publik/rakyat (2 Samuel 2 dan 5). Atau Salomo, pelantikannya sebagai raja oleh imam berlangsung di tengah rakyat (baca 1Raja1:28-53).
Kisah-kisah ini memperlihatkan bahwa perkenanan Allah dan dukungan rakyat adalah dua hal saling terkait dan amat diperlukan bagi absahnya kekuasaan seorang raja. Raja demikian sekaligus adalah abdi Allah demi rakyat atau abdi rakyat yang diperkenan Allah. Karena itu tuntutan moral terhadap seorang raja adalah bagaimana dia menyelenggarakan kekuasaannya dengan taat pada Allah dan melayani rakyat, khususnya kaum kecil yang sering menjadi korban dalam masyarakat. Dan dalam tradisi Israel para nabi merupakan juru bicara Allah untuk menyampaikan kehendak Allah dan aspirasi rakyat kepada raja.
Bagaimana dengan suara rakyat? Dalam tradisi Eksodus ada kisah menarik tentang suara rakyat dalam kaitan dengan Allah. Ketika Israel ditindas di Mesir mereka mengeluh karena penindasan itu. Mereka berseru-seru sehingga teriak mereka minta tolong sampai ke telinga Allah. Allah mendengar suara nereka, melihat dan memperhatikan penderitaan mereka (Keluaran 2:23-24). Corak bahasa anthropomorphis ini (bahasa yang menggambarkan Allah dengan berbagai daya indrawi manusia) memperlihatkan bahwa Allah juga bisa tergugah, bersimpati dan berempati pada rakyat yang tertindas.
Di kisah ini suara rakyat memang tetap suara rakyat; tetapi dalam hubungan dengan Allah, suara rakyat itu didengar Allah, dan disuarakan kembali lewat Musa kepada penguasa Mesir dalam bentuk perintah pembebasan bagi rakyat yang tertindas. (Keluaran 3:1-10). Dengan ini kita melihat perubahan status suara rakyat; apa yang Allah suarakan kepada Musa untuk diteruskan kepada penguasa adalah sebenarnya suara yang sebelumnya didengar Allah dari rakyat sendiri. Pharao tidak mendengar langsung dari rakyat, tetapi lewat Musa, sang utusan Allah. Musa juga tidak mendengar dari rakyat, tetapi mendengar suara rakyat itu dari Allah. Maka tepat juga secara teologis untuk membalikkan ungkapan Alcuin tanpa merubah maknanya menjadi: Vox Dei Vox Populi (suara Allah sebenarnya suara penderitaan rakyat). Wawasan seperti ini amat relevan dalam konteks penindasan di mana rakyat benar-benar tak berdaya (powerless) dan tak bersuara (voiceless) seperti dalam penindasan Mesir atau regim lainnya di dunia ini yang kejam terhadap rakyat.
Perspektif teologis tentang rakyat dan suara rakyat ini cukup menonjol dalam Teologi Asia belakangan ini. Di Korea Selatan para teolog mengembangkan konsep “minjung” (rakyat) sebagai satu kategori teologis. Di mata para teolog ini, rakyat Asia seringkali menjadi obyek penindasan, dan diabaikan dalam berbagai proses sosial-politik. Tetapi Allah dalam Kristus memihak rakyat, melayani mereka, dan kepada mereka diberitakan Injil Kerajaan Allah yaitu berita pembebasan. Dengan demikian Rakyat yang tak berdaya diberdayakan, dan yang dibisukan dimampukan untuk bersuara.
Dalam hubungan dengan ini, kita bisa mengembangkan Teologi dan Etika Politik dengan rakyat sebagai kategori utama. Seorang teolog Asia menulis tentang hal ini: “All Christian political theology, should be no more and no less than “folk” political theology – political theology of the people.” (C.Song, 1982). Artinya: Semua teologi politik Kristen seharusnya menjadi teologi politik rakyat dan teologi politik tentang rakyat.
Ambiguitas
Tetapi apakah selalu suara rakyat adalah suara Allah? Dalam konteks di mana ada upaya manipulasi untuk memanfaatkan suara rakyat demi kepentngan tertentu, masih tepatkah secara etis-teologis kita membenarkan pernyataan vox populi vox dei? Rupanya di sini kita berhadapan dengan sebuah ambiguitas moral dan menuntut kearifan untuk menilai dalam situasi apa uangkapan ini benar-benar dipakai secara murni tanpa kepentingan, dan kapan dia dipakai hanya sekadar bahasa ideologis untuk menutupi kepentingan terselubung.
Sebuah kisa Kitab Suci kembali menjadi contoh kita. Dalam kisah pengadilan Yesus, menurut Markus (fs.15) rakyat atau orang banyak, massa (Yunani: okhlos) yang sebelumnya menjadi pengagum fanatik Yesus, ternyata berbalik haluan. Ketika ditanyai Pilatus apa yang harus diperbuat terhadap Yesus, dengan nada koor yang keras mereka berteriak: “salibkanlah dia! Salibkanlah dia!” (Markus 15:13,14).
Mengapa massa (ochlos) berubah sikap? Kecewa karena Yesus tidak memenuhi harapan? Kemungkinan itu tetap terbuka. Tetapi menurut Markus mereka balik haluan karena “imam-imam kepala menghasut orang banyak” ( ay. 11). Ternyata rakyat yang seharusnya menjadi subyek dan kategori teologis dalam berbagai teologi dan etika Politik bisa juga bisa menjadi obyek manipulasi dan hasutan berbagai pihak pencari dukungan.
Kemungkinan bahwa rakyat dan massa dihasut itu selalu ada dalam setiap situasi sosial-politik di manapun, tidak kecuali di Indonesia. Dalam situasi seperti itu, maka perlu kita tegaskan bahwa suara rakyat, suara massa adalah suara para penghasut dan bukan suara Allah. Karena itu kita perlu menaruh kesangsian ideologis terhadap berbagai pihak yang memakai frase vox populi vox dei. Untuk kepentingan politis macam apa mereka memakai frase ini. Kearifan dan sikap kritis kita perlu kita kembangkan untuk menilai niat-niat terselubung di balik penggunaan frase vox populi vox dei.
Penutup
Di NTT sedang berlangsung musim suksesi politik. Banyak gerilyawan politik berkeliaran mencari dukungan rakyat entah dengan cara baik atau buruk. Berbagai organisasi atau forum dadakan bermunculan sekadar kumpul fotokopi KTP dan tandatangan warga masyarakat dengan imbalan uang. Jelas suara dan dukungan rakyat yang diperoleh dengan cara begini bukan suara Allah. Hal yang sama berlaku bagi para anggota DPRD. Kalau suara rakyat yang mereka wakili nanti mereka jual pada seorang pencari jabatan kepala daerah, mereka kita kategorikan sebagai penipu rakyat dan Allah. Lalu kepala daerah sendiri, yang berhasil terpilih karena beli suara wakil rakyat, jelas bukan kepala daerah yang diperkenan Allah. Dia lebih tepat disebut sebagai manipulator.
* Pendeta Emeritus, mantan Ketua MS GMIT